Wah, apa hubungannya nih?
Beberapa hari terakhir saya
berulang baca berita tentang banjir di Bandung dalam tautan di bawah ini:
http://news.okezone.com/read/2016/03/15/525/1336279/banjir-bandung-aher-semoga-tuhan-enggak-turunkan-hujan-sekaligus
Berikut isi beritanya:
BOGOR - Menghadapi musibah banjir akibat
meluapnya aliran Sungai Citarum, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriawan menyerahkan
hal tersebut kepada Tuhan YME dan berharap hujan yang menguyur agar cepat
mereda dan banjir segera surut.
"Ya
kalo hujannya sudah engga ada, udah panas lagi ya pasti banjirnya otomatis reda
kan," katanya, saat menghadiri HUT Satpol PP ke 66 dan HUT Linmas ke 54 di
Lapangan Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Selasa (15/3/2016).
Pria
yang akrab dipanggil Aher tersebut hanya berharap dan mengajak warga Bandung
khususnya yang dilanda musibah banjir untuk berdoa agar hujan yang turun mereda
dan banjir segera surut.
"Kan
sekarang masih musim hujan, mudah-mudahan kita berdoa kepada Tuhan ke depannya
hujan yang turun tidak sekaligus. Kalau hujannya sedikit juga banjir kecil
tidak sebesar ini," ungkapnya.
Sebelumnya,
lebih dari 10 ribu rumah di empat kecamatan yakni di Kecamatan Dayeuhkolot,
Bojongsoang, Bale Endah, dan Katapang. Kabupaten Bandung, Jawa Barat terendam
luapan Sungai Citarum sejak Sabtu 12 Maret 2016.
Selain
itu, luapan Sungai Citarum juga turut menggenangi ruas jalan utama penghubung
Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung.
Berita itu tentang komentar
Aher terkait banjir yang melanda daerah yang dipimpinnya. Dan berita itu menimbulkan
beberapa tanggapan, diantaranya seperti tergambar dalam tautan gambar. Komentar yang bawa-bawa sempaknya nggak usah dibayangin
ya. :D
Kenapa sampai ada orang
menganggap bahwa apa yan g disampaikan Aher itu salah, atau tidak baik, atau
tidak keren? Hingga timbul komentar neagtif sampai satire beserta memenya?
Hal itu karena tidak semua
orang sadar akan detail.
Yuk , kita ulas dari poin ke
poin hingga menjadi kesatuan yang utuh.
1.
Konteks.
Keterkatian
sangat penting agar kita bisa mengetahui pesan secara utuh. Dalam kasus ini,
Aher tentu menjawab sebuah pertanyaan. Dia bukan ujug-ujug ngomong seperti yang
menjadi kutipan langsung dalam berita di atas.
Nah,
dari jawaban Aher, apa kiranya pertanyaan dari wartawannya? Kita tidak bisa
menemukan hal itu karena memang tidak tertulis. Berita itu hanya menunjukan
bentuk umum dalam paragrap pertama bahwa Aher,
‘Menghadapi musibah banjir...’.
Bentuk
umumnya adalah ‘Menghadapi’. Tanpa rincian dalam tahap apa Aher menghadapi
banjir tersebut. Lalu bagimana kita tahu rincian pertanyaan wartawan kepada
Aher, dalam fase menghadapi banjir yang dimaksud? Itulah mengapa kita
memerlukan,
2.
Logika Waktu.
Sudah
saya sampaikan bahwa tidak semua orang sadar akan detail. Padahal, karena
detail lah hidup kita jadi indah dan penuh makna. :D
Jika kita melihat paragraph kelima, berita tersebut diawali dengan kata ‘Sebelumnya’. Kemudian menceritakan banyaknya rumah yang terendam beserta lokasi-lokasi banjir.
Jika kita melihat paragraph kelima, berita tersebut diawali dengan kata ‘Sebelumnya’. Kemudian menceritakan banyaknya rumah yang terendam beserta lokasi-lokasi banjir.
Dari
hal itu kita bisa mengetahui bahwa interaksi wartawan dengan Aher adalah ketika
banjir sudah terjadi. Dengan informasi itu, maka, pemaknaan bahwa Aher
menghadapi banjir adalah dalam fase penanggulangan bencana, bukan dalam tahap
antisipasi.
Kita
tidak perlu jadi sarjana teknik sipil, ahli fisika, atau anggota tim SAR, untuk tahu bahwa dalam fase
penanggulangan banjir, agar air surut, adalah sangat wajar adanya harapan agar
hujan tidak turun, tidak deras, atau tidak lama.
Mana
ada korban banjir yang ingin cepat surut tapi berharap hujan turun. Silakan
cari. (ter-Tere Liye). :)
Ketika konteksnya adalah hujan, maka Aher sudah benar
dengan tidak mengaitkannya dengan manusia atau peralatan, melainkan Tuhan. Entah
dalam sudut pandang apa komentar seperti ini dianggap salah, tidak baik, atau
tidak keren?
Lalu kenapa ada orang yang sampai menganggap itu sebuah
hal yang ‘gila’ atau ‘memalukan’? Selain karena abai terhadap detail tadi, juga
karena bahwa setiap berita memilki angle. Wartawan, Editor, Pimred, sampai
pemilki perusahaan media bisa menentukan apa yang perlu disampaikan atau tidak.
Semua komunikator punya efek yang ingin dicapai bukan?
Selain media yang punya tujuan dari semua beritanya,
penerima berita juga tentu memiliki tujuan dalam meneruskan berita (dan itulah
kenapa saya menyertakan Pilkada Jakarta pada judul tulisan ini, hahahay) .
Sangat wajar jika dari berita ini, maka, terbagilah umat kedalam beberapa
golongan, setidaknya:
Orang
yang membenci partai pengusung Aher (saya sebut inisialnya saja, yaitu, PKS).
Adalah sangat wajar jika berita ini menjadi peluru untuk menunjukan betapa
payahnya kader mereka. Dibanding, dibanding, dibanding siapa ayo? :D
Tim
sukses dan pemilih calon lain ketika Pilgub Jawa Barat, yang belum move on.
Sangat cocok untuk menjadikannya sebagai bahan sindiran, betapa mereka yang
telah memilih Aher, telah salah pilih.
Juga
para pendukung Aher, baik partai atau perseorangan, bisa juga menjadikan berita
itu sebagai info yang menunjukan bahwa pilihan mereka tepat, karena gubernur begitu
tawakal dan selalu ingat Tuhan.
Dan
yang tak ketinggalan adalah mereka sedang giat-giatnya menunjukan dukungan
terhadap bakal calon gubernur DKI Jakarta selanjutnya, yang bernama (ah, nggak
usah disebut, namanya nggak ada di judul sih), dan menjadikan tafsir berita
tadi sebagai perbandingan.
Dan
tentu bisa juga gabungan dari sosok-sosok di atas.
Ah,
Gung, elu sok tau, bawa-bawa konteks logika waktu segala. Teori!
Eh,
saya tuh bukan modal tampang doang, tapi menyertakan tautan video juga.
Ditonton ya. Di situ Aher juga berkomentar tentang usaha menghadapi banjir. Memang
banjir sudah terjadi. Tapi, dia bicara dalam konteks antisipasi. Dan dalam fase itu, dia tidak berharap Tuhan
tidak menurunkan hujan sekaligus kok.
Hikmah
dalam bersosial pada kasus berita ini bagi saya adalah bawah kita bisa saja
menyamarkan kesukaan atau kebencian, tapi keadilan atau kezaliman selalu menggeliat
hingga tampak kepermukaan.
Ada
yang ingat syair Iwan Fals yang bertanya ‘Apakah selamanya politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam?’ Ataukah memang itu yang sudah
digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya’?.
Tadinya saya pikir itu hanya tentang politkus yang terlbat langsung dalam
politik. Ternyata orang-orang yang sekadar mendukung pun bisa sama buasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar