“WAH,
JOKI, NIH!” teriak salah seorang peserta ujian praktek ketika aku berhasil
melewati setengah dari rintangan ujian praktek motor. Teriakan itu membuat para
peserta lain tertawa. Itu tidak menggangguku sama sekali. Bagiku, saat itu,
gelar itu adalah pujian. Maklum, sejak tadi, puluhan peserta ujian praktek
banyak yang gagal. Bahkan hampir semuanya gagal. Hanya ada tiga orang yang
berhasil, termasuk aku. Kebanyakan dari mereka yang gagal karena menyenggol kayu
pembatas, sebagian lain melajukan motor ke arah yang tidak sesuai dengan arah
panah, sebagian lagi karena tidak mengoper gigi pada saat yang tepat. Terus
terang aku heran, kenapa banyak orang gagal dalam ujian praktek semudah ini?
Tapi
keheranan itu belum seberapa dibanding ketika pembagian SIM, ternyata
orang-orang yang gagal itu dipanggil juga namanya. Saat ujian praktek hampir
semua gagal, namun ketika pembagian SIM hampir semua dapat.
“AWAN!”
panggil polisi dari balik loket pengambilan dengan suara lembut namun keras
karena speaker. Aku
mendekat. Tanganku menyambut pemberian polisi itu. Aku mengangkat SIM C milikku
hingga sejajar dengan mata. Ada rasa bangga, haru, sukacita. Kini aku telah
mendapat izin dari negara untuk mengendarai motor. Resmi dan semestinya. Aku
patut merayakan hal ini.
Aku
masuk ke dalam minimarket di seberang polres. Mengambil sekaleng minuman
kesukaan lalu keluar, duduk di bawah naungan tenda-payung. Tiga motor ber-cc
besar baru saja parkir di sebelah tendaku. Tiga orang pengendaranya turun
hampir beramaan. Ketiganya berjaket kulit berwarna gelap. Mereka membuka helm,
lalu duduk di tenda-payung sebelah tanpa masuk ke minimarket.
Satu
orang dari mereka melihat ke arahku. Tatapannya kaku. Aku pura-pura tidak tahu
kalau salah seorang lagi berbisik sambil melihat ke arahku. Naluri bertahan
hidupku meruncing. Aku melihat ke sekitar. Aku tenang karena keadaan sekitar
cukup ramai. Dan lagi, aku tidak membawa barang berharga apapun, terlebih lagi
aku tidak membawa kendaraan. Jadi ketiga orang ini bukan ingin merampok. Tapi
juga terlalu keras untuk sekadar bertanya alamat, pikirku.
Seorang
yang berkacamaata hitam mendekat ke arahku. Aku sudah bersiap mengambil
jalur pelarian, jika kekacauan dimulai, aku tak akan melawan. Satu banding
tiga, yang benar saja.
“Permisi.”
suaranya sopan, tak sebanding dengan wajanya yang keras. Aku tersenyum kecil,
jalan tengah menanggapi kesopanan dengan waspada. Ia duduk lalu membuka
kacamatanya. Semakin terlihat bahwa ia sekitar lima tahun di atas usiaku yang
baru saja boleh mendapatkan SIM. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat logo
di bagian dada jaket kulitnya. Gambar rubah menganga menunjukan taring.
“Awan,”
ucapnya. Aku hampir menyangka kalau ia memiliki nama yang sama denganku.
“Namaku Ega”, lanjutnya. Dia tahu namaku. dan ini membuatku semakin merasakan
keanehan.
“Kami
ingin mengajakmu bergabung.” katanya pelan. Aku mencoba menerka-nerka arah
pembicaraannya. MLM? Dengan cara seperti ini?
“Klub
motor kami bernama FOX.” sambungnya. “Kami ingin kamu bergabung.”
Aku
tak bisa menanah diri untuk tidak tersenyum geli. Namun juga setengah khawatir
akan menyinggung perasaan mereka. Aku menenggak dulu minuman kaleng kesukaan
untuk kemudian menanggapi. “
“Aku
bahkan tidak punya motor, Bang.” jawabku dengan senyum setipis mungkin. Aku
tidak menganggap motor bebek ayahku sebagai motorku. “Dan, kenapa aku?”
tambahku, “Dan kenapa dengan cara seperti ini?”
“Kami
akan memberimu motor,”
Aku
tersedak dan terbatuk mendengar jawaban pertama, memberikan isyarat tangan
memohon maaf, kemudian mengusap mulut dengan lengan untuk menghapus sedikit air
minum yang keluar.
“Karena
kamu memenuhi syarat,” lanjutnya, “dan karena kami bergerak cepat, efektif, dan
efisien.”. Orang bernama Ega di depanku benar-benar menjawab pertanyaanku
sesuai urutan. Aku langsung percaya kalau cepat, efektif, dan efisien,
setidaknya, bagian dari dirinya.
Aku
melirik dulu ke arah dua orang yang lain. Tidak ada pertanda kalau mereka
sedang bercanda. Sempat menyisir ke berbagai arah, mencari kamera tersembunyi,
karena ini mungkin proses produksi sebuah program televisi. Tidak ada juga.
“Punya
nomor rekening?”tanya Ega menatapku.
“Punya,”
jawabku sambil merangkai logika waspada. Tidak masalah jika mereka harus tahu.
“Sebutkan,
kami akan transfer sejumlah uang.” sahutnya. Aku diam sejenak melihat lebih
detail raut muka Ega yang dingin. Kalau ini lelucon, toh lebih baik ini cepat
berakhir. Aku ingin cepat mengendarai motor ayah untuk pertama kali setelah
memiliki SIM.
Ega
menekan-nekan ponselnya ketika aku menyebutkan nama bank dan nomor rekeningku.
“Berapa harga motor 250cc yang kamu ingkinkan?”
Honda
CBR 250RR. Seperti motor dua orang dari mereka. Gagah dan mempesona Jangankan
harga. Spesifikasinya pun aku ingat. Meski aku menganggp ini lelucon, tetap
saja aku mesti mengehela nafas sebelum menyebutkan harganya. “60 juta.” ucapku
pelan. Ega tidak memintaku mengulang ucapan. Pandangannya masih ke poselnya. Ia
mengeluarkan gawai konfirmasi bank, menekan-nekan tombolnya, kemudian kembali
menatapku. “Aku lebihkan 10 juta, kalau-kalau harganya naik. Silakan cek. Kami
sangat kecewa sekali kalau ternyata uang itu tidak kamu belikan motor.”
Aku
mengeluarkan poselku sambil tersenyum menggeleng. Bersiap masuk ke tahap puncak
dari lelucon mereka. Halaman browser telah terbuka, aku mengetik situs
bank, memasukan nama dan kata kunci akun. Informasi
Saldo.
Seyum
tipisku atas antisipasi dikerjai berhenti. Aku tertegun, Mereka benar-benar
menggelembungkan saldo rekening bank milikku. Aku garuk-garuk kepala, salah
tingkah. Meski kebahagiaan membuncah, aku tetap merasa resah. Pemberian semewah
ini tentu dengan pamrih.
Dua
teman Ega bangkit mendekat, ikut duduk bersama kami. Mereka sadar aku sudah
tidak merasa terancam. Ega mengenalkan mereka padaku. Adit dan Rivay. Cepak dan
rancung.
“Kalian
bilang aku memenuhi syarat.” aku mulai merasa harus mencari tahu. “Syarat
apa?”
“Kamu
berhasil mendapatkan SIM.” jawab Ega. “Murni.” tambahnya.
“Dan
memiiki hasil ujian teori tertinggi.” tambah Adit. Aku menoleh ke arahnya
dengan cepat setelah perkataannya. “Dari mana kau tahu?” tanyaku. Adit
menjawab dengan membuka sisi kanan jaketnya. Menunjukan lencana polisi yang
tercantel di saku kemeja birunya. Aku mengangguk sedikit menganga. “Jadi kalian
polisi.”
“Hanya
Adit disini.” jawab Rivay. “FOX sangat beragam. Beragam usia. Beragam profesi.”
Hening sejenak sejak jawaban Rivay. Mereka memberi waktu kepadaku untuk tahu
dan paham.
“Tapi
bukan hanya aku yang berhasil mendapatkan SIM dengan murni.” tanyaku penasaran.
“Tapi
hanya kau yang datang tanpa mengendarai motor.” jawab Ega.
“Hari
ini ada tiga orang murni yang berhasil.” jawab Adit sambil memberi isyarat
kutip pada ketika berkata murni. “Sayangnya, hanya kamu yang tidak mengendarai
motor sebelum benar-benar memiliki SIM.”
“Kami
memang detail dalam perekrutan.” timbrung Rivay. “Itu karena kami memang
mengerjakan hal-hal detail.”
“Jadi
ini pekerjaan?” tanyaku mendapat bahan. “Kalian pasti punya tujuan kan?”
Ega
tersenyum dengan dua pertanyaanku. “Pekerjaan, pengabdian, bersenang-senang.
Kita bisa menyebut banyak hal tentang FOX.” jawabnya. “Dan, ya, tentu kami
punya tujuan.”
Aku
menegakkan badanku. Bersiap mendengar hal yang aku tunggu-tunggu. Ega
menjelaskan semuanya.
“Manusia
hanya berada di tiga tempat sepanjang hidupnya. Di tempat yang kita sebut
rumah. Di tempat mencari penghidupan. Dan di tempat yang berada diantara
keduanya. Itulah jalanan. Itulah yang kita sebut perjalanan.”
“Sayangnya,
keburukan dalam hidup paling sering terjadi di jalanan. Kejahatan dan
kecelakaan. Jalan adalah tempat yang rawan, sebagaimana perjalanan adalah
proses yang demikian.”
“Itulah
kenapa banyak aturan dan rambu yang bertebaran.” Adit menyelipkan ucapan. Ega
mengangguk lalu melanjutkan.
“Sayangnya,
kita hidup bersama begitu banyak manusia yang meremehkan aturan. Banyak dari
mereka tidak sadar bahwa mereka menjadi malaikat pencabut nyawa bagi nyawa
orang lain dan nyawanya sendiri. Begitu banyak yang lalai dalam logika, etika,
dan estetika, yang akhirnya membuat dirinya dan orang lain celaka.”
“Untuk
itulah kita ada.” tutup Rivay atas penjelasan Ega. “Secanggih apapun kendaraan,
manusia juga memegang kendali. Karenanya, manusialah yang menjadi sasaran.”
Aku
sudah sangat paham tujuan mulia mereka. Hanya saja, “Bagaimana caranya?” tanyaku
tak sabar. Aku sudah mulai membayangkan aksi-aksi dark-justice super hero, tapi tentu itu terlalu
liar untuk nyata.
“Caranya
adalah dengan bergabung dengan FOX. Dan kami bukan hanya akan menjelaskan, tapi
juga mengajakmu beraksi!” jawab Adit semangat.
“Jadi,
apakah kamu mau bergabung dengan kami?” tanya Ega. “Atau kamu akan mentransfer
balik uang barusan?” tambahnya dengan senyuman.
Aku
ikut tersenyum. “Bagaimana aku bisa menolak hal ini?” jawabku. “Ya, aku
bergabung dengan FOX!”
Aku
sudah memesan motor impian. Namun karena belum sampai, dalam aksi pertama, aku
masih berboncengan. Ega mengajakku membuntuti seseorang. Sebuah aksi yang
awalnya tidak aku mengerti. Kami sudah berpakaian lengkap. Jaket, helm, sarung
tangan, dan sepatu. Aku melihat mata Ega menatap lurus ke pertigaan jalan.
“Target kita akan keluar dari jalan itu satu jam lagi.” ujarnya sambil menunjuk.
“Kalau
begitu, kenapa kita berangkat sejak pagi?” keluhku. Satu jam lagi itu pukul
sebelas. Kami sudah berangkat dari markas sejak pukul sembilan dengan
perjalanan hanya satu jam.
“Anggota
FOX selalu membiasakan diri lebih cepat dari jadwal.” jawabnya. “ Itu membuat
kita tetap menjadi manusia saat berkendara. Seseorang tak akan menyingkirkan
batu bila terburu-buru.”
Jawaban
yang mengena padaku karena pernah mengalaminya.
Sebuah
motor matic kuning keluar dari persimpangan, masuk ke jalan raya. “Itu dia!”
sahut Ega dari balik helmnya. Ia langsung melaju mendekati motor itu namun
tidak sampai menyusulnya. Aku bisa melihat bahwa pengendaranya seorang wanita,
terlihat dari panjang rambut dan pilihan warna sarung tangannya, meskipun aku
tak bisa melihat pantulan wajah dari kaca spionya.
Aku
tak behenti menerka-nerka apa yang akan dilakukan Ega. Dan, “Kenapa tidak kita
susul saja?” tanyaku setengah berteriak agar terdengar. Ia malah menggeleng,
membuka kaca helm, lalu berkata, “Kalau kita susul, bagaimana kamu bisa melihat
kesalahannya?”. Aku bingung dibuatnya. Aku melihat kelengkapan aksesoris
motornya. Semua ada. Sampai pada jalanan yang cukup ramai, aku melihat wanita
itu menambah kecepatannya, menyusul beberapa motor dan mobil tanpa menyalakan
lampu sign. Beberapa motor
yang ingin menyusulnya bakan hanpir menabraknya karena wanita itu bermanuver ke
kanan ketika motor di belakangnya akan menyusul. Kesalahan itulah yang aku
anggap menjadi pertimbangan Ega untuk menindak.
Kami berhasil membuntuti wanita itu hingga ke dalam kampus.
Ia seorang mahasiswi. Ega memarkir motor cukup dekat dengan motor wanita itu.
Aku menunggu Ega untuk turun. Namun ternyata Ega malah menunggu wanita itu
hilang dari pandangan, masuk ke gedung kampus. Saat itulah ia menyerahkan
sepucuk surat terbungkus plastik kepadaku. “Selipkan ini di karet jok
motornya.” pintanya. Aku sempat melongo tak mengerti, melihat ke sekitar, lalu
menurut saja apa yang diperintahkannya. Aku melihat kesekitar, memastikan tak
ada orang yang curiga dengan aksiku. Dan selesai!
“Apa isi,” Ega memberiku selembar kertas, membuat pertanyaanku terpotong.
“Aku tahu kamu pasti penasaran dengan isi surat itu.” potong Ega. “Ini
salinannya, dan jangan sapai lecak, karena itu untuk target berikutnya
dengan kesalahan yang sama.”
Aku membuka lipat surat itu, bersandar pada badan motor, lalu mulai membaca
tanpa berucap.
Kepada saudariku yang cantik.
Kecantikanmu bisa membunuhmu dan orang lain. Kaca spion pada motor adalah
untuk melihat bagian samping-belakang motormu, bukan untuk melihat pantulan
wajahmu. Tahanlah dirimu untuk terlalu sering lihat wajah sendiri saat
berkendara. Karena ketika kamu tak bisa melihat ke samping-belakang motormu,
kamu akan lengah, dan menganggap tidak ada ancaman. Padahal, kamu bisa membuat
dirmu dan orang lain celaka. Jangan menunggu sampai itu terjadi untuk menyadari
sebuah fungsi.
Sebelum selesasi membaca surat itu, aku
sadar Ega berjalan mendekati motor matic kuning wanita tadi. Ia memegang kaca
spionnya lalu menggerakannya bagian kacanya lebih keluar. Sekarang aku
mengerti, wanita itu terlihat ugal-ugalan dan merepotkan orang lain karena ada
satu fungi yang terabaikan. Pantas saja aku tidak melihat pantulan wajanya,
karena ia memposisikan agar pantulan wajahnya yang terlihat oleh dirinya
sendiri. Karena jika kaca spion seusuai fungsi, justru sebaliknya, orang di
belakang akan bisa melihat pantulan wajahnya, sedangkan pemilik wajah melihat
pantulan keadaan samping-belakang. Aku semakain mengakuji bahwa FOX
memperhatikan hal-hal detail.
Siang itu kami tak berhenti membuntuti. Aku masih harus menjadi pengantar surat
bagi seorang pria bermotor bebek dengan knalpot racing yang suaranya merobek telinga. Tak
lupa aku membaca salinan suratnya.
Kepada saudaraku yang gagah.
Sebagaimana terjemahan kata racing yang artinya balap, maka knalpot racing
adalah knalpot balap. Maka hindari penggunaannya jika kamu tidak sedang balap
menggunakan motor balap si sirkuit balap. Gagahlah dengan prestasimu, bukan
dengan suara knalpotmu yang menjadi polusi suara.
Aksi bersama Rivay ternyata berkaitan dengan profesinya. Aksi fotografi di
sekitar jalan baru sebuah perumahan umum, dengan objek-objek para pengendara
motor belia. Kami sampai sejak siang mesi Rivay baru mulai memotret sore hari,
ketika jalan baru itu ramai oleh motor yang lalu-lalang, tentu agar kami tetap
menjadi manusia di perjalanan.
Rivay
memberiku kesempatan memotret beberapa moment dan objek yang sama. Kami
memilah-milah hasil jepretan di markas rahasia kami, mencetaknya, dan
mengirimkan foto-foto ke alamat para orang tua yang sudah terpantau dan
terdata. Tentu bersama sepucuk surat cinta.
Kepada para orang tua kami yang
peduli pada anak-anaknya.
Motor
matic bukanlah mainan, sebagaimana motor manual pun bukan. Anak-anak kita pasti
bisa menunggu jika kita memberi pengertian. Lihatlah bagaimana mereka
bermanuver. Lihatlah bagaimana mereka berboncengan. Lihatlah bagaimana mereka
menjadikan motor sebagai bahan adu kecepatan. Jika kita mengecam hal seperti
itu dilakaukan oleh orang dewasa, terlebih lagi jika dilakukan anak-anak,
bukan? Jangan menunggu hal buruk terjadi pada anak-anak Anda, barulah sadar
bahwa hal tertentu membutuhkan waktu untuk menunggu.
Dan
aksi Adit lah yang paling membuatku penasaran. Apa yang akan dilakukan seorang
polisi lalu lintas dengan klub motor rahasianya? Siapa targetnya? Apa
pelanggarannya? Hingga aku berkesempatan untuk ikut dalam aksinya malam itu.
Aksi yang membuatku tahu kalau FOX bukan hanya mengirim foto dan surat cinta
pada targer-targetnya.
Aku
sudah menerka Adit tidak akan menggunakan seragamnya malam itu. Kami
berboncengan, masuk ke dalam parkiran sebuah mall. Entah apa yang Adit katakan
kepada petugas parkir. Yang pasti itu membuat kami bebas melakukan eksekusi
pada sebuah motor yang sejak tadi kami buntuti. Aksi membuntuti yang sering
membuat mata kami silau, sekaligus membuatku tahu kenapa Adit menjadikannya
sebagai target.
Dengan
santai Adit menarik mundur motor bebek itu meski sedang ditopang standar ganda,
hingga menjorok dari motor-motor lain. Ia mencopot penutup lampu rem yang
berwarna putih menggunakan obeng. Tutup lampu rem yang membuat kami silau
hampir sepanjang jalan tadi, terutama ketika pengendara motor ini melakukan
pengereman. Tak hanya melepas, Adit juga memasang tutup lampu rem serupa
dengan warna yang semestinya. Merah. Adit memasang tutup lampu itu dan
menyelipkan tutup lampu putih sebelumnya pada pegangan jok belakang. Ia
mengeluarkan sepucuk surat terbungkus pelastik.
“Boleh
aku membacanya dulu?” tanyaku, karena tak yakin yang satu ini ada salinannya.
Adit mengangguk mengizinkan.
Kepada
saudaraku yang menyukai keindahan.
Kami
mengganti tutup lampu rem Anda. Dari sisi Logika, itu salah, karena warna
merah adalah bahasa dunia untuk
pengurangan kecepatan. Dari sisi Etika, itu tak baik, karena membuat
penglihatan pengendara lain terganggu. Dari sisi Estetika pun tak indah. Karena
sekalipun Anda menganggap warna putih lebih indah dari warna merah, Anda tak
bisa melihatnya ketika lampu itu menyala. Alasan apalagi yang bisa kamu gunakan
untuk merubah warna itu, jika ketiga unsur itu tak memberimu satu pun ruang?
FOX.
Rubah. Klub motor yang merubahku lebih dulu sebelum aku merubah orang lain.
Mereka membuatku sadar bahwa selamat berkendara bukan hanya tentang diri
sendiri, tapi jugaorang lain. Membuatku sadar bahwa keselamatan di jalan bukan
hanya tentang lengkap dan taat, tapi juga waktu yang luang. Waktu luang yang
membuat kita tetap menjadi manusia. Bukan pemburu yang
terburu-buru.
Satu
pertanyaan mengusikku saat aksi Adit baru saja selesai. “Kenapa kita
meninggalkan tutup lampu putihnya?” tanyaku pada Adit.
“Agar
itu menjadi pilihan kedewasaan.” jawabnya singkat. Aku tak puas dengan
keputusan itu. Karenanya aku kembali bertanya. “Bagimana jika ia kembali
menggunakan tutup lampu yang berwarna putih?” tanyaku.
Tak
langsung menjawab, Adit malah tersenyum. “Aku ini polisi lalu lintas.
Ingat?”. Jawaban itu membuatku ikut tersenyum, tapi, sekaligus mendapat bahan
pertanyaan baru. “Kenapa kita tidak melakukan ini terang-terangan saja?
Kenapa kita menjadikan aksi ini rahasia?”
Adit
melihatku dengan senyum kecil yang tersisa. “Kami percaya nasihat diam-diam
lebih efektif, ketimbang nasihat terang-terangan, terutama jika dilakukan
petugas berseragam.”, jawabnya. “Lagi pula tidak semua aksi kita rahasia.”
Beberapa
hari kemudian aku paham, tidak semua hal
di klub motor kami adalah rahasia. Aksi kebaikan tentu harus disebar agar
menular. Itu yang mebuat tiap anggota selalu menyebar dokumentasi aksi FOX
dengan cara masing-masing. Rivay seringkali mempublikasi foto-foto aksi kami
melalui blog fotografinya. Kami juga membagikan stiker atau selebaran
propaganda dalam acara-acara otomotif. Termasuk juga menuliskan pesan-pesan
keselamatan pada sebuah cerita, kemudian mengikutsertakannya ke dalam sebuah
lomba.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com