Minggu, 20 Maret 2016

Pemikiran: DEMOKRASI, AGAMA, DAN PILKADA



            Sebagaian orang mungkin merasa aneh kenapa seorang-saya menganggap demokrasi tidak cocok dengan agama. Saya bilang agama, bukan agama saya saja. Bahkan saya berani berpendapat bahwa demokrasi itu memang dikonsep untuk melawan agama.
            Bagi saya, agama adalah aturan tertua. Apa yang disebut kearifan lokal, norma, dan adat istiadat pun, sumbernya adalah agama. Logika ini sangat sederhana. Berhubung agama itu jalan  yang dibuat oleh Tuhan, lalu apakah ada yang lebih awal dari Tuhan?
            Makna paling mendasar dari demokrasi adalah aturan yang sesuai kehendak mayoritas. Segala atribut-atribut lain yang disematkan padanya tak lain hanyalah hiasan dan harapan akan sebuah keadaan. Contoh-contoh atribut lain itu diantaranya: kesamaan hak, kebebasan berpendapat, transparansi, atau trias-politica. Padahal, dengan makna demokrasi yang mendasar dan sederhana tadi, kalau mayoritas berkehendak bahwa golongan tertentu haknya lebih, ya itu tetap demokrasi. Atau kalau mayoritas berkehendak tidak ada kebebasan berpendapat, ya itu juga demokrasi, begitu seterusnya. Pokoknya tidak ada ciri lain selain aturan sesuai kehendak mayoritas. Sebanyak apapun telur, ayam goreng, perkedel, dan brokoli, Indomie tetap hanya yang ada di dalam bungkusnya saja. Lainnya, tambahan. Tak bisa kita katakan bahwa ayam goreng atau brokoli adalah Indomie. Bagi yang tidak suka Indomie, silakan ganti dengan Supermi, Sarimi, Mie Sedap, atau Mie Sukses isi dua.
            Nah, dalam titik inilah demokrasi terlihat bukan hanya tidak cocok dengan agama, tapi juga bermusuhan.  Jika agama bicara tentang ‘harus’, demokrasi bicara tentang ‘tergantung’. Jika agama bicara tentang hal-hal tertentu saja manusia boleh menentukan, maka demokrasi menganggap bisa semuanya. Memang canggung untuk langsung mengatakan demokrasi sebuah keburukan, melainkah sesuatau yang berlebihan. Sesuatu yang berlebihan pasti buruk. Nah, tak lagi canggung.
Demokrasi memang sebuah konsep pembablasan akan otoritas tunggal. Maka, tak ayal, beberapa orang menganggp bahwa demokrasi adalah berhala. Buat saya, itu tidak lebay. Setidaknya sebuah kisah di bawah ini bisa menjadi contoh bahwa kehendak mayoritas  bisa menjadi jalan menuju pemberhalaan, sekalipun di dalam masyarakat yang punya tradisi mengesakan Tuhan.

            Atas perintah Allah, Musa menuju bukit Thur untuk menerima mukjizat Taurat. Musa berencana pergi selama 10 malam, tapi kemudian digenapkan selama 40 malam. Sebelum berangkat, Nabi Musa pun menitipkan Bani Israil pada adiknya, Nabi Harun. "Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku. Perbaikilah dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan," ujar Musa.

Harun pun kemudian memimpin Bani Israil. Namun, rupanya Samiri tak peduli dengan nasihat Harun. Ia pun mengajak Bani Israil untuk mengumpulkan segala perhiasan emas yang selama ini dibawa. Emas tersebut dikumpulkan untuk kemudian dilebur di atas api.  Setelah emas meleleh, Samiri melemparkan tanah jejak kuda Jibril yang ia simpan selama perjalanan dari Mesir. "Jadilah anak sapi!" teriak Samiri girang tanpa merasa berdosa. Lupa sudah Samiri akan peringatan Musa agar tak menyembah berhala, tapi selalu mengesakan Allah.

Dengan kebodohan Bani Israil, mereka pun percaya dan mengikuti ajakan buruk Samiri. Alhasil, mereka pun menyembah patung anak sapi tersebut selama Musa pergi. Sementara, Harun tak sanggup melawan Bani Israil sendirian.         (dari Republika online)

            Jangankan ulama atau pemuka agama, rasul yang masih hidup saja bisa ditentang oleh mayoritas yang menggunakan konsep ini. Bayangkan! Dosa terberat, menyekutukan Tuhan saja bisa lolos, apalagi maksiat lainnya. Karena yang penting itu kehendak mayoritas, tak ada urusan sekalipun dengan utusan Tuhan. Jadi, tak lebay kan, jika demokrasi dianggap berhala?
            Demokrasi memang disepakati untuk menentang otoritas tunggal. Baik Tuhan, apalagi sekadar rasul, terlebih raja dan ratu. Apa yang wajib bisa jadi pilihan, bahkan malah jadi terlarang, selama mayoritas menghendaki demikian. Sebaliknya, sesuatu yang terlarang bisa jadi boleh, bahkan wajib asal mayoritas menghendaki. Tak heran, di sebuah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak, dengan banyaknya ahli agama, majelis ilmu, sampai majelis ulama, mengamalkan maksiat yang dosanya bekali-kali lipat dari dosa menzinah ibu kandung, menjadi hal biasa. Gimana kurang musuhan dengan agama coba?
            Tak heran, di negara-negara yang berhasil demokrasinya, ya pasti berhasil sekuler dan liberalnya. Judi jadi industri. Zinah jadi industri. Mabok jadi industri. Riba jadi industri. Kalau belum begini, ya belum berhasil demokrasinya. Negara-negara yang jajal fusion antara agama dan demokrasi akan selalu jadi negara bimbang, labil, dan ngambang kayak ‘itu’ di empang. Terombang-ambilng gelombang air karena tiupan angin. Jadilah banyak aturan banci, yang memang setengah-agama-setengah-liberal, setengah-taat-setengah-maksiat. Mau liberal terganjal agama, mau taat terganjal selera massa.
            Untungnya, itu bukan sebuah arti kesuksesan. Bagi saya, sukses itu kalau kita berhasil cukup tanpa menentang falsafah hidup tertinggi. Jadi, negara dengan industri maksiat, bisa jadi kaya, megah, berlimpah, tapi dia tidak sukses. Kekayaannya pasti tidak menjadi berkah baginya dan bagi tetangganya. Tak menjadi rahmat bagi seluruh alam. Terbayang nggak, timpangnya Amerika dengan Afrika?

              Tapi demokrasi banyak menghasilkan aturan yang baik, loh.

            Kebaikan itu sudah default settingnya agama untuk manusia. Tuhan selalu membolehkan, bahkan mewajibkan kebaikan. Demokrasi itu versi telat-klaimnya kebaikan hidup.

            Nah, baru dah saya sambung-sambungin ke hal aktual kekinian yang sedang hangat-hangatnya, bahkan panas-panasnya, karena berhasil membuaskan banyak orang. Tentang bagaimana perhelatan demokrasi dalam memilih kepala daerah yang menjadi ibu kota Indonesia gitu ganti. Bagimana dalil agama dijadikan pertimbangan untuk tidak memilih salah satu calon, karena calonnya: Kafir. Calonnya tidak seagama. Dalil ini wajar saja jika ada dalam agama lain.
            Masalahnya, dalil ini bisa dianggap berlebihan dari sudut pandang demokrasi aktual. Muslim vs Kafir. Orang muslim haram memiih orang kafir! Itu benar. Tapi kalau mayoritas orang muslimnya memilih demokrasi, yang salah satu hasilnya, dengan kehendak mayoritas, membolehkan orang kafir jadi pemimpin, ya itu resiko. Kalau kamu memilih iPhone, ya terima lambang apelnya yang sudah terbelah, jangan minta diservice supaya apelnya utuh.

            “Bang, ada iphone 11S yang apelnya masih utuh nggak?”
            Abang-abang iBox langsung resign.

                Ya, tapi kan memilih orang kafir itu haram! Dosa!
           Yah, dia sekarang bicara dosa. Memang demokrasi dikonsep untuk apa? Untuk berlomba-lomba mengumpulkan pahala? Untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan? Baca lagi dari awal mendingan.

            Bagi saya, yang patut disyukuri dalam hidup ini, terkait keberadaan konsep demokrasi dalam hidup ini, adalah bahwa, demokrasi bukan syarat  bernegara. Lebih bersyukur lagi, demokrasi bukanlah syarat menjadi manusia. Sangat bersyukur lagi demokrasi bukan syarat untku bisa memberi dan menerima cinta. Paling besyukur lagi, demokrasi bukan syarat untuk bisa masuk surga, yang semoga kita berada di sana bersama-sama nantinya.

Pemikiran: Aher, Berita, dan Pilkada Jakarta + Syair Lagu Iwan Fals


Wah, apa hubungannya nih? 
Beberapa hari terakhir saya berulang baca berita tentang banjir di Bandung dalam tautan di bawah ini:
http://news.okezone.com/read/2016/03/15/525/1336279/banjir-bandung-aher-semoga-tuhan-enggak-turunkan-hujan-sekaligus
Berikut isi beritanya:
BOGOR - Menghadapi musibah banjir akibat meluapnya aliran Sungai Citarum, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heriawan menyerahkan hal tersebut kepada Tuhan YME dan berharap hujan yang menguyur agar cepat mereda dan banjir segera surut.
"Ya kalo hujannya sudah engga ada, udah panas lagi ya pasti banjirnya otomatis reda kan," katanya, saat menghadiri HUT Satpol PP ke 66 dan HUT Linmas ke 54 di Lapangan Tegar Beriman, Kabupaten Bogor, Selasa (15/3/2016).
Pria yang akrab dipanggil Aher tersebut hanya berharap dan mengajak warga Bandung khususnya yang dilanda musibah banjir untuk berdoa agar hujan yang turun mereda dan banjir segera surut.
"Kan sekarang masih musim hujan, mudah-mudahan kita berdoa kepada Tuhan ke depannya hujan yang turun tidak sekaligus. Kalau hujannya sedikit juga banjir kecil tidak sebesar ini," ungkapnya.
Sebelumnya, lebih dari 10 ribu rumah di empat kecamatan yakni di Kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Bale Endah, dan Katapang. Kabupaten Bandung, Jawa Barat terendam luapan Sungai Citarum sejak Sabtu 12 Maret 2016.
Selain itu, luapan Sungai Citarum juga turut menggenangi ruas jalan utama penghubung Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung.

Berita itu tentang komentar Aher terkait banjir yang melanda daerah yang dipimpinnya. Dan berita itu menimbulkan beberapa tanggapan, diantaranya seperti tergambar dalam tautan gambar.  Komentar yang bawa-bawa sempaknya nggak usah dibayangin ya. :D





Kenapa sampai ada orang menganggap bahwa apa yan g disampaikan Aher itu salah, atau tidak baik, atau tidak keren? Hingga timbul komentar neagtif sampai satire beserta memenya?
Hal itu karena tidak semua orang sadar akan detail.
Yuk , kita ulas dari poin ke poin hingga menjadi kesatuan yang utuh.
1.    Konteks.
Keterkatian sangat penting agar kita bisa mengetahui pesan secara utuh. Dalam kasus ini, Aher tentu menjawab sebuah pertanyaan. Dia bukan ujug-ujug ngomong seperti yang menjadi kutipan langsung dalam berita di atas.
Nah, dari jawaban Aher, apa kiranya pertanyaan dari wartawannya? Kita tidak bisa menemukan hal itu karena memang tidak tertulis. Berita itu hanya menunjukan bentuk umum dalam paragrap pertama bahwa Aher,  ‘Menghadapi musibah banjir...’.
Bentuk umumnya adalah ‘Menghadapi’. Tanpa rincian dalam tahap apa Aher menghadapi banjir tersebut. Lalu bagimana kita tahu rincian pertanyaan wartawan kepada Aher, dalam fase menghadapi banjir yang dimaksud? Itulah mengapa kita memerlukan,
2.    Logika Waktu.
Sudah saya sampaikan bahwa tidak semua orang sadar akan detail. Padahal, karena detail lah hidup kita jadi indah dan penuh makna. :D
Jika kita melihat paragraph kelima, berita tersebut diawali dengan kata ‘Sebelumnya’. Kemudian menceritakan banyaknya rumah yang terendam beserta lokasi-lokasi banjir.
Dari hal itu kita bisa mengetahui bahwa interaksi wartawan dengan Aher adalah ketika banjir sudah terjadi. Dengan informasi itu, maka, pemaknaan bahwa Aher menghadapi banjir adalah dalam fase penanggulangan bencana, bukan dalam tahap antisipasi.
Kita tidak perlu jadi sarjana teknik sipil, ahli fisika, atau anggota tim  SAR, untuk tahu bahwa dalam fase penanggulangan banjir, agar air surut, adalah sangat wajar adanya harapan agar hujan tidak turun, tidak deras, atau tidak lama.
Mana ada korban banjir yang ingin cepat surut tapi berharap hujan turun. Silakan cari. (ter-Tere Liye). :)
            Ketika konteksnya adalah hujan, maka Aher sudah benar dengan tidak mengaitkannya dengan manusia atau peralatan, melainkan Tuhan. Entah dalam sudut pandang apa komentar seperti ini dianggap salah, tidak baik, atau tidak keren?
            Lalu kenapa ada orang yang sampai menganggap itu sebuah hal yang ‘gila’ atau ‘memalukan’? Selain karena abai terhadap detail tadi, juga karena bahwa setiap berita memilki angle. Wartawan, Editor, Pimred, sampai pemilki perusahaan media bisa menentukan apa yang perlu disampaikan atau tidak. Semua komunikator punya efek yang ingin dicapai bukan?
            Selain media yang punya tujuan dari semua beritanya, penerima berita juga tentu memiliki tujuan dalam meneruskan berita (dan itulah kenapa saya menyertakan Pilkada Jakarta pada judul tulisan ini, hahahay) . Sangat wajar jika dari berita ini, maka, terbagilah umat kedalam beberapa golongan, setidaknya:
Orang yang membenci partai pengusung Aher (saya sebut inisialnya saja, yaitu, PKS). Adalah sangat wajar jika berita ini menjadi peluru untuk menunjukan betapa payahnya kader mereka. Dibanding, dibanding, dibanding siapa ayo? :D
Tim sukses dan pemilih calon lain ketika Pilgub Jawa Barat, yang belum move on. Sangat cocok untuk menjadikannya sebagai bahan sindiran, betapa mereka yang telah memilih Aher, telah salah pilih. 
Juga para pendukung Aher, baik partai atau perseorangan, bisa juga menjadikan berita itu sebagai info yang menunjukan bahwa pilihan mereka tepat, karena gubernur begitu tawakal dan selalu ingat Tuhan.
Dan yang tak ketinggalan adalah mereka sedang giat-giatnya menunjukan dukungan terhadap bakal calon gubernur DKI Jakarta selanjutnya, yang bernama (ah, nggak usah disebut, namanya nggak ada di judul sih), dan menjadikan tafsir berita tadi sebagai perbandingan.
Dan tentu bisa juga gabungan dari sosok-sosok di atas.
Ah, Gung, elu sok tau, bawa-bawa konteks logika waktu segala. Teori!
Eh, saya tuh bukan modal tampang doang, tapi menyertakan tautan video juga. Ditonton ya. Di situ Aher juga berkomentar tentang usaha menghadapi banjir. Memang banjir sudah terjadi. Tapi, dia bicara dalam konteks antisipasi.  Dan dalam fase itu, dia tidak berharap Tuhan tidak menurunkan hujan sekaligus kok.
Hikmah dalam bersosial pada kasus berita ini bagi saya adalah bawah kita bisa saja menyamarkan kesukaan atau kebencian, tapi keadilan atau kezaliman selalu menggeliat hingga tampak kepermukaan.
Ada yang ingat syair Iwan Fals yang bertanya ‘Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam?’ Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya’?. Tadinya saya pikir itu hanya tentang politkus yang terlbat langsung dalam politik. Ternyata orang-orang yang sekadar mendukung pun bisa sama buasnya.

https://www.facebook.com/agung.satriawan.16/videos/10205968400469604/